Mental Musisi Profesional, Harus yang Seperti Apa?

Ilustrasi (sumber: pexels.com)

Ketika gue masih kuliah dulu, kami semua mahasiswa jurusan musik terdoktrin untuk menjadi musisi yang professional, baik itu sebagai pencipta maupun penyaji (pengkaji? mereka ga pernah ngomongin -_- ).

Salah satu hal yang terdoktrin dari semester I adalah kita harus berlatih 8 jam dalam sehari.

Emang bener sih, tapi menurut gue kalo ada yang mencerna hal itu mentah2, tentu itu hal yang sangat menggelikan.

Kenapa? Karena seperti yang pernah gue baca dalam salah satu artikel, bahwa batas durasi otak manusia dalam “berpikir” secara keras (baik itu bekerja atau belajar) adalah sekitar 90 menit,  lebih dari itu seseorang harus mengistirahatkan pikirannya sejenak minimal 15-30 menit.

Alih2 banyak yang mengerti, ternyata banyak mahasiswa jurusan musik yang berlatih dengan waktu yang benar2 diluar nalar orang normal.

Sebelum security kampus gue seresek sekarang, banyak temen2 gue yang latihan dari setelah maghrib sampai jam 4 pagi di kampus.

Bahkan waktu pertama kali gue ke jogja, pada waktu itu gue dan ibu gue (iya, gue dianter ibu gue karena beliau takut kenapa2 karena pertama kali merantau -_-) dianter pake travel nyampe depan ISI jam 5 pagi.

Kemudian karena iseng, gue pengen kita ke daerah sewon belakang kampus utk nyari kos-kosan, tapi lewat komplek kampus.

Setelah itu pas nyampe dket gedung jurusan musik, gue tiba2 ngedenger suara biola samar dari balik gedung.

Waktu itu ibu gue ketakutan bahkan ga berani lewat karena dikira suara biola mistis (-_-).

Setelah gue yakinin ibu gue akhirnya kita beraniin lanjutin perjalanan kita sampai dibalik gedung, dan ternyata itu suara dari mahasiswi biola yang sedang latihan di pojokan gedung, dan ngadep ke tembok!

Ada juga temen gue yang nekat untuk berlatih dalam 8 jam non stopmenyisihkan semua waktunya utk main , nongkrong, dan aktivitas luang lainnya, dan apa hasilnya? Progresnya kecil, ditambah dia ga terlalu sering dapat gigs sehingga kemampuannya tidak terlalu berkembang.

Kemudian ketika gue masuk semester V dan mulai ngambil konsentrasi penciptaan musik, gue nemu semacam “doktrin” lagi.

Ada temen gue yang bener2 tipikal “idealis” utk menjadi komposer.

Dia ketika dikelas, baik itu lagi presentasi karya maupun ketika penyajian materi kuliah, dia selalu nyelipin kalimat show-off yang mengatakan bahwa dia sangat produktif berkarya.

Bahkan dia selalu ngomong biarpun tanpa disuruh tugas sekalipun, dia selalu berinisiatif utk membuat karya komposisi musik.

Dia selalu cerita kalo tiap hari dia begadang sampe pagi hanya untuk berkarya.

Forsir adalah Kunci?

Kemudian karena gue penasaran gue pun cari2 referensi di buku dan internet tentang bagaimana seharusnya para musisi dalam berproduktivitas seni.

Ternyata gue menemukan salah satu pernyataan di wikipedia tentang cuplikan interview untuk sebuah jurnal dengan salah satu komposer besar, yaitu Tschaikovsky.

Pewawancara itu kurang lebih bertanya “Berapa jam bagi anda untuk membuat karya? Apakah anda menhabiskan waktu seharian hanya untuk berkarya?”

Tschaikovsky menjawab “Tentu tidak, saya hanya menggunakan 3 jam di pagi hari dan 3 jam di siang atau sore hari untuk berkarya, selebihnya saya melakukan hal lain layaknya orang normal, menghabiskan waktu untuk orang-orang terdekat dan sebagainya. Jika jenuh saya akan menyendiri ketempat yang sunyi agar mendapat suasana yang tepat untuk berkarya”.

Inti dari pernyataan Tschaikovsky adalah beliau ga pernah memaksa tubuhnya sendiri untuk menghasilkan sebuah karya yang spektakuler.

Dia selalu tetap memperlakukan dirinya layaknya seorang manusia biasa, bukan sebagai budak dari produksi estetika.


Karya2 yang dihasilkan beliau juga luar biasa, salah satu karya terbaik dari Tschaikovsky adalah karya Simfoni no.6.

Beliau juga membuktikan bahwa dirinya mempunyai etos yang bagus dalam berkarya.

Etos dalam berkarya merupakan salah satu aspek dalam menentukan bagus enggaknya mental professional seorang seniman, dalam konteks ini sebagai mental professional seorang musisi.

Salah satu faktor pembentuk lainnya dalam mental musisi professional adalah sikap (behavior).

Tetapi faktor sikap dalam profesionalitas menjadi dilema di negeri ini
Beberapa waktu yang lalu gue pernah hampir terlibat bantuin proyek bersama salah satu kampus multimedia di Jogja.

Waktu itu gue liat ada salah satu anak ISI juga yang ikut membantu, kalo ga salah dia mayornya flute.

Entah mungkin karena ga terbiasa bersikap atau semacamnya, dia terkesan cuek dan dingin, bahkan ketika dia tau kalo gue alumni di almamater yang sama, dia sama sekali ga ada respeknya.

Gue kemudian mengira dia berani bersikap kayak gitu karena merasa instrumennya merupakan instrumen "langka", sehingga ga mungkin orang berani "macam2" sama dia.

Lucunya, pada saat H -7 sebelum acara, temen gue dari kampus multimedia itu tiba2 langsung membatalkan grup musik gue dengan alasan kebanyakan talent.

Berdasarkan cerita diatas, sikap yang dipunyai anak itu tidak hanya karena pola lingkungan diantara musisi aja, tapi juga karena sebagian besar masyarakat kita yang kadang tidak terlalu paham sehingga membuat anak itu terkondisikan untuk bersikap demikian.

Menghargai dan Dihargai

Satu hal lagi mental profesional yang kadang hilang terutama pada orang yang jam terbangnya belum banyak adalah rasa "menghargai diri" 
"Menghargai diri" yang dimaksud adalah cara para musisi mengukur upah berdasarkan tenaga dan kemampuan yang diberikan.
Hal yang membuat ironis adalah banyak sekali para musisi yang menjadi korban "ucapan terimakasih".

Dengan dalih "tidak terkenal" atau "agar jam terbang tinggi", beberapa musisi rela menjadi "murahan" biarpun hanya dikasih konsumsi dan suvenir.

Padahal sebagai profesional, semua jasa yang diberikan harus ada harganya.


Diluar negeri, semua hal sekecil apapun jabatan atau kerjaan yang dilakukan tetap dibayar secara profesional.

Gue pernah baca di salah satu buku bahwa ada promotor acara musik dari Amerika yang menolak bekerja sama dengan promotor dari Indonesia karena promotor tersebut tidak mau dibayar !!

Salah satu faktor terjadinya hal seperti itu adalah masyarakat yang "menggunakan" para seniman cenderung tidak terlalu paham & menghargai, malah cenderung mengeksploitasi. Gue sekarang masih bekerja part-time dalam bidang perekrutan frontliner di salah satu perusahaan kreatif di jogja.

Disana gue megang bidang acara wisuda & pelantikan.



Di kantor gue mengajukan anggaran untuk membayar bintang tamu, tapi atasan gue malah bilang "Ngapain dibayar? dikasih kaos sama makanan aja?"


Mungkin mereka merasa membayar "musisi biasa" tidak terlu penting karena mereka kerjaanya cuman nyanyi doank.

Untuk urusan hononarium seperti ini, perlu ada regulasi khusus dari pemerintah. Selama ini belum ada undang2 khusus yang mengatur tentang keberlangsungan para pelaku seni di Indonesia.


Selama ini hal yang menjadi pusat perhatian hanyalah sistem royalti dan pemberantasan pembajakan saja.

Dalam membentuk mental profesional dalam bidang apapun perlu adanya kontribusi bersama baik itu dari pelaku maupun masyarakat pada umumnya.


Bayangkan jika kelangsungan profesionalitas para musisi di Indonesia berlangsung dengan baik, para musisi mungkin tidak akan malu lagi untuk mengakui profesi mereka sebagai pelaku seni.

Comments